MAKALAH
REFORMASI BIROKRASI
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pelayanan publik adalah salah satu
produk politik. Jika pelayanan publik di Indonesia belum maksimal tentu ini
terkait dengan sitem politik Indonesia. Politik dalam kaitannya dengan
pelayanan publik tentu yang terlintas dibenak kita adalah birokrasi. Apakah
bila pelayanan publik tidak baik menandakan birokrasi yang tidak baik. Salah
satu contoh konkret yang belakangan ini sering disebut ialah penyediaan
perangkat dan sarana hukum, peraturan, prosedur, dan kepastian untuk investasi,
misalnya di bidang infrastruktur. Birokrasi sebagai perangkat pelaksanaan
pemerintah diberi tanggung jawab dan karena itu disalahkan jika tidak beres.
Untuk mengetahui secara lebih jelas
apakah politik, pelayanan publik dan birokrasi itu terkait tentu harus ada
pembelajaran yang lebih mendalam. Oleh kareana itu penulis akan membahas
mengenai hal tersebut yang bertemakan birokrasi dan politik.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah konsep birokrasi?
2.
Apa pengertian birokrasi?
3.
Bagaiman karakteristik dan tipe ideal
birokrasi
4.
Apakah pengertian etika birokrasi?
5.
Bagaimana pelaksanaan etika birokrasi di
Indonesia?
6.
Bagaimana pelaksanaan birokrasi di
Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Memaparkan sejarah konsep birokrasi
2.
Menjelaskan definisi birokrasi
3.
Menyebutkan karakteristik birokrasi
4.
Menyebutkan tipe ideal birokrasi
5.
Menjelaskan etika birokrasi dan
pelaksanaannya
6.
Menjelaskan pelaksanaan birokrasi di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Konsep Birokrasi
Kosep birokrasi
dimunculkan oleh M De Gourney. Melalui surat tertanggal 1 Juli 1764 yang
ditulis Baran de Grim, merujuk pada gagasan Gourney yang mengeluh tentang
pemerintahan yang melayani dirinya sendiri.
Ide tentang
birokrasi bukan sesuatu yang baru. Merupakan kekeliruan kalau kita mengira
konsep ini baru muncul. Keluhan atas pemerintahan pun bukan hal baru, yaitu
setua usia pemerintahan itu sendiri. Machiavelli, misalnya: dalam nasihatnya
kepada pangeran meminta pangeran memilih yang cakap dan mengaji mereka agar
tidak mencari penghasilan dari sumber lain.
Sejak muncul
gagasan oleh Gourney, istilah birokrasi diadoptasi secara luas dalam kasus
politik di Eropa selama abad 18. Istilah Prancis Bureacratie ini, dengan cepat diadopsi dalam makna yang sama di
Jerman dengan sebutan bureaukratie. Istilah birokrasi yang
berkembang secara luas selepas periode de Gourney. Muncul istilah birokrat,
birokratis, birokratis, birokratik, dan birokratisasi.
B.
Definisi
Birokrasi
Jika kita
mendengar kata birokrasi, maka langsung yang ada dalam pikiran kita adalah
bahwasanya kita berperan dengan sesuatu prosedur yang berbelit-belit. Pendapat
yang demikian tidaklah dapat disalahkan seluruhnya, namun demikian apabila
orang-orang yang duduk dibelakang ”meja” taat pada prosedurnya.
1. Birokrasi yang dalam bahasa inggris, Bureautracy, berasal dari kata Bureau (meja) dan Cratein (kekuasaan), dimaksudkan adalah kekuasaan berada pada
orang-orang yang dibelakang meja. Di Indonesia cenderung dikonotasikan
sebagaimana telah digambarkan di atas.
2. Bintoro
Tjokroamidjojo (1984)
Menurut beliau, birokrasi
dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang dilakukan
oleh banyak orang. Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi
adalah agar pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak
orang sehingga tidak timpang tindih.
3. Blau
dan Page
Blau dan Page (1956) mengemukakan
birokrasi “sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai
tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis
(teratur) pekerjaan dari banyak orang”.
4. Ismani
Bahwa dalam birokrasi terdapat
aturan-aturan yang rasional, stuktur organisari dan proses berdasarkan
pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi-tingginya.
5. Fritz
Morstein Marx
Birokrasi adalah tipe organisasi
yang dipergunakan pemerintah modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang
bersifat spesialisasinya, dilaksanakan dalam sistem administasi yang khususnya
oleh aparatur pemerintahan
6. Riant
Nugroho Dwijowijoto
Birokrasi adalah suatu lembaga yang
sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial
terhadap hal-hal yang baik maupun buruk pada skala yang besar.
Berdasarkan uraian-uraian di atas,
dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah suatu prosedur yang efektif dan efisien
yang didasari oleh teori dan aturan yang berlaku serta memiliki spesialisasi
menurut tujuan yang telah diterapkan oleh organisasi/institusi.
C.
Karateristik
Birokrasi
Sebagaiman telah
diuraikan di atas, bahwa birokrasi dimaksud agar kekuasaan dipegang oleh
orang-orang yang berada di belakang meja, karena segala sesuatunya diatur
secara legal dan formal oleh para birokrat.
Sepertinya yang
dikatakan Blau dan Page, bahwa birokrasi dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas
administrasi yang besar. Hal itu sangat dapat berlaku pada organisasi besar
seperti organisasi pemerintahan, karena pada organisasi pemerintahan segala
sesuatu diatur secara formal.
Selama ini
banyak pakar yang meneliti dan menulis tentang birokrasi bahwa fungsi staf
pegawai administrasi harus memiliki cara-cara yang spesifik agar lebih efektif
dan efisiensi:
1. Kerja
yang ketat pada peraturan (rule)
2. Tugas
yang khusus (spesialisasi)
3. Kaku
dan sederhana (zakelijk)
4. Penyelenggaraan
yang resmi (formal)
5. Berdasarkan
logika (rasional)
Hal di atas
merupakan prinsip dasar dan karakteristik yang ideal dari suatu birokrasi.
Karakteristik tersebut idealnya memang dimemiliki oleh para birokrat. Blau dan
Page; birokrasi untuk melaksanakan tugas administrasi yang besar.
D.
Tipe
ideal Birokrasi
Dengan mengutip
Max Weber seorang sosiolog Jerman. Tjokroamidjojo mengemukakan ciri utama
stuktur birokrasi di dalam tipe idealnya adalah:
1.
Prinsip pembagian kerja
Kegiatan-kegiatan
regular yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi dibagi dalam cara-cara
yang tertentu sebagai tugas-tugas jabatan. Dengan adanya pembagian kerja yang
jelas ini dimungkinkan pelaksanaan pekerjaan untuk tenaga-tenaga spesialis
dalam setiap jabatan.
2.
Stuktur hirarkhis
Pengorganisasian
jabatan-jabatan mengikuti prinsip hirarkhis yaitu jabatan yang lebih rendah
berada dibawah penggawasan/ pimpinan dari jabatan yang lebih atas.
3.
Aturan dan prosedur
Pelaksanaan
kegiatan didasarkan pada suatu sistem pengaturan yang konsisten. Sistem standar
dimaksudkan untuk menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan
kegiatan tanpa melihat pada jumlah orang yang terlibat didalamnya.
4.
Prinsip netral (tidak memihak)
Pejabat
yang ideal dalam suatu birokrasi melaksanakan kewajiban di dalam semangat “formalistic impersonality” (formil non
pribadi), artinya tanpa perasaan simpati atau tidak simpati.
5.
Penerapan didasarkan pada karir
Penempatan
kerja di dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan
dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang.
6.
Birokrasi murni
Pengalaman
menunjukan bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi administrasi
dilihat dari segi teknis akan dapat memenuhi efisiensi tingkat tinggi.
E.
Etika
Birokrasi
Etika merupakan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang/ suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya/ kumpulan nilai moral. Untuk dapat menjadi pegangan
atau rujukan seseorang/ suatu kelompok tersebut, maka nilai-nilai moral
tersebut diwujudkan dalam bentuk kode etik. Misalnya, kode etik kedokteran,
kode etik pers. Etika di atas jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan
moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat, jadi dapat
dikatakan bahwa moral merupakan landasan normative yang didalamnya mengandung
nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normative tersebut dapat pula
dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika
Birokrasi.
Dengan makna
birokrasi yang demikian, maka menurut Yahya Muhaimin (1991) birokrasi sebagai
keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu
pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena situasinya.
F.
Etika
Birokrasi dalam Pelaksanaan
Berdasarkan
pengertian birokrasi yang menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi-organisasi
didirikan secara resmi dan dibentuk untuk memaksimumkan efisiensi administrasi
dalam pemerintahan dan pembangunan yang menyangkut kelembagaan, aparat, sistem
dan prosedur dalam melaksanakan kegiatan demi kepentingan umum atau masyarakat.
Agar pelaksanaan
kode etik berhasil dengan baik maka pelaksanaannya diawasi terus-menerus dan kode
etik mengandung sanksi bagi pelanggar kode etik. Bila terjadi kasus pelanggaran
kode etik akan dinilai dan ditindak oleh “suatu dewan kehormatan” atau komisi
yang dibentuk untuk keperluan itu.
Penerapan etika
birokrasi dalam pemerintahan dituangkan kedalam kode etik Pegawai Negeri Sipil
dalam PP nomor 42 tahun 2004 dan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayananan
Publik dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003.
G.
Pelaksanaan
Etika Birokrasi
Pada umumnya,
penyusunan kode etik minimal didasari oleh empat aspek pertimbangan sebagai
berikut:
1. Profesionalisme
Keahlian khusus yang dimiliki oleh
seseorang baik yang diperolehnya dari pendidikan formal (dokter, akuntan,
pengacara, dll), dari bakat (penyanyi, pelukis, pianis, dll), serta dari kompetensi
mengerjakan sesuatu (direktur, pegawai, pejabat, dll).
2. Akuntabilitas
Kesanggupan seseorang untuk
mempertanggungjawabkan apapun yang
dilakukan berkaitan dengan profesi serta peranannya sehingga ia dapat
dipercaya.
3. Menjaga
kerahasiaan
Sebuah kemampuan memelihara
kepercayaan dengan bersikap hati-hati dalam memberikan informasi.
4. Independensi
Sikap netral, tidak memihak,
menyadari batas-batasan dalam mengungkapkan sesuatu juga merupakan salah satu
pertimbangan kode etik.
H.
Pelaksanaan
Birokrasi di Indonesia
Sejarah
birokrasi di Indonesia memiliki raport buruk, khususnya semasa Orde Baru dimana
yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua,
masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidak pastian waktu, ketidak
pastian biaya, dan ketidak pastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa
fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi
justru menjadi salah satu causa prima
terhadap maraknya korupsi, kolusi, nepotisme. Pejabat politik yang mengisi birokrasi
pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk
sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak
dapat dibedakan.
Mengutip catatan
guru besar ilmu politik Universitas airlangga Ramlan Surbakti mengenai fenomena
birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehinggga hampir
semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu
besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan
ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani
masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi dianggap sebagai
sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang
dihadapi masyarakat.
Fenomena ini
terjadi karena trasisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa
untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain,
birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh prajan daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisi
birokrasi. Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan
kekuasaan.
Pasca reformasi
pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin
melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan nonkarier.
Sikap mental seperti iini dapat membawa brokrasi pemerintahan Indonesia kembali
kepada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa orde baru.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Birokrasi adalah
suatu prosedur yang efektif dan efisien yang didasari oleh teori dan aturan
yang berlaku serta memiliki spesialisasi menurut tujuan yang telah diterapkan
oleh organisasi oleh organisasi/institusi.
Birokrasi
sebenarnya adalah pelaksana kebijakan dan bukan pembuat kebijakan. Birokrasi
bertujuan untuk memberikan pelayanan publik, membantu masyarakat. Pejabat
birokrasi bukan pejabat politik apalagi alat politik.
B.
Saran
Agar
fungsi, peran, tujuan, dan pelaksanaan birokrasi berjalan maksimal dan baik,
maka pengawasan perlu dilakukan oleh pihak yang terkait dan tak segan
memberikan sanksi bagi pelanggar kode etik. Masyarakat juga dituntut kritis
melihat fenomena yang terjadi dan harus mengambil sikap dan tindakan.
Masyarakat patut menerima pelayanan yang menjadi haknya.
DARTAR PUSTAKA
Gaffar, Afan.
1999. Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset
Rahman. 2007. Sitem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu
No comments:
Post a Comment