Saturday, March 18, 2017

ARTIKEL THE CIVILIZING PROCESS NORBERT ELIAS TENTANG “PROSES PERADABAN”


ARTIKEL KOSEPTUAL
ANATOMI TEORI SOSIAL
NORBERT ELIAS TENTANG “PROSES PERADABAN”
THE CIVILIZING PROCESS



     1.      KONTEKS SOSIAL
Ketika melihat Nazisme tengah menanjak, Norbert Elias orang Yahudi meninggalkan Jerman pada tahun 1935. Ia tinggal di Paris selama 2 tahun, kemudian ke London dimana ia menulis karya pertamanya tentang “proses peradaban”. Buku ini terdiri dari dua jilid dan terbit di Bale pada tahun 1939 namun berlalu begitu saja. Selama 30 tahun Norbert Elias mengajar sebagai dosen sosiologi di Cambridge, Leicester, di Ghana dan lebih banyak tinggal di Inggris. Kariernya kembali muncul dengan diterbitkannya kembali dua jilid buku tersebut pada tahun 1939, dan tahun 1969 diikuti dengan satu jilid baru. Ketiga buku itu berubah judul menjadi La Civilization des meuers (Peradaban Adat-Kebiasaan), La Dynamique de I’Occident (Dinamika Barat) dan La Societt de cour (Masyarakat dalam Istana). Norbert Elias kemudian secara berkala diundang untuk mengajar di Amsterdam dan Bielefeld, serta di Jerman dimana pemikirannya dihargai.
Sikap malu dan cara-cara bersikap yang ‘pas’ lainnya menurut Norbert Elias merupakan tanda-tanda kasat mata proses peradaban yang ditunjukkan Eropa secara jelas sejak masa renaissance. Namun apakah keterampilan menguasai diri tersebut betul-betul warisan manusia modern.

      2.      PEMIKIRAN ATAU TEORI YANG MEMPENGARUHINYA
Norbert Elias lahir tahun 1897 dari keluarga yang relatif berkecukupan di kota Breslau (sekarang Wroclaw). Disini ia mengenyam pendidikan Jerman klasik, kemudian dimobilisasi pada tahun 1915 dan pada akhir masa perang ia belajar kedokteran dan filsafat. Pada tahun 1925 ia berbalik mempelajari sosiologi dan hendak menetap di Heidelberg tempat Max Weber mengajar kemudian menyusul bekerja sebagai asisten Karl Mannheim di Frankfurt.
Elias tak mendapat gaji di Heidelberg tetapi ia sangat aktif terlibat dalam kelompok studi sosiologi di Universitas Heidelberg. Max Weber telah meninggal tahun 1920, tetapi salon yang dipimpin istrinya, Mariane, masih aktif dan Elias terlibat didalamnya. Ia juga bergabung dengan saudara Weber, Alfred, yang menjadi ketua jurusan sosiologi di Universitas Heidelberg maupun dengan Karl Mannheim yang agak lebih maju karirnya ketimbang Elias. Kenyataannya Elias menjadi teman dan asisten tak bergaji dari Mannheim. Ketika Mannheim ditawari jabatan di Universitas Frankfurt tahun 1930, Elias menyertainya sebagai asisten resmi yang digaji (mengenai hubungan antara kedua orang itu dan karya mereka, lihat Kilminster, 1993).

     3.      LATAR BELAKANG SOSIAL
Elias lahir di Breslau, Jerman tahun 1897 (Mennel, 1992). Orang tuanya Hermann dan Sophie Elias.Ayahnya seorang pengusaha pabrik kecil dan kehidupan keluarganya cukup menyenangkan. Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga sejahtera yang membekalinya dengan kepercayaan diri kuat yang bermanfaat baginya kemudian ketika karyanya tak dihargai : Dia telah dibekali perasaan aman yang besar sejak masa kanak-kanak. Dia mempunyai perasaan aman mendasar yang besar, perasaan yang dalam menghadapi suatu persoalan akhirnya akan menghasilkan penyelesaian yang terbaik. Rasa aman yang besar ini sudah ditanamkan orang tua kepada dia sejak kecil.
Sejak kecil dia tahu apa yang ingin dia lakukan; dia ingin masuk universitas dan ingin melakukan riset, Dia tahu itu sejak masih muda dan dia telah melakukannya meski kadang-kadang tampaknya mustahil… Dia yakin sekali bahwa akhirnya karya dia akan diakui sebagai kontribusi yang berharga terhadap pengetahuan tentang kemanusiaan. (Elias, dikutip dalam Mennel, 1992:6-7).
Elias masuk dinas militer Jerman saat PD II, dan seusai perang ia belajar filsafat dan kedokteran di Universitas Breslau. Meski studi kedokterannya maju pesat tetapi akhirnya ia tinggalkan demi untuk memusatkan perhatian sepenuhnya pada studi filsafat. Studi kedokteran memberikan pengertian tentang saling berhubungan antara berbagai bagian tubuh manusia dan pemahamannya itu membentuk orientasinya terhadap antar hubungan manusia; membentuk perhatiannya mengenai figurasi. Elias menerima gelar Ph.D. pada Januari 1924; baru kemudian ia pergi ke Heidelberg untuk belajar sosiologi.
Elias tak mendapat gaji di Heidelberg tetapi ia sangat aktif terlibat dalam kelompok studi sosiologi di Universitas Heidelberg. Max Weber telah meninggal tahun 1920, tetapi salon yang dipimpin istrinya, Mariane, masih aktif dan Elias terlibat didalamnya. Ia juga bergabung dengan saudara Weber, Alfred, yang menjadi ketua jurusan sosiologi di Universitas Heidelberg maupun dengan Karl Mannheim yang agak lebih maju karirnya ketimbang Elias. Kenyataannya Elias menjadi teman dan asisten tak bergaji dari Mannheim. Ketika Mannheim ditawari jabatan di Universitas Frankfurt tahun 1930, Elias menyertainya sebagai asisten resmi yang digaji (mengenai hubungan antara kedua orang itu dan karya mereka, lihat Kilminster, 1993).
Hitler berkuasa pada Februari 1933 dan segera sesudah itu, Elias, seperti banyak sarjana Yahudi lainnya (termasuk Mannheim), diusir dari Jerman, mula-mula ia tinggal di Paris, kemudian di London (ibunya mati di dalam kamp konsentrasi Jerman tahun 1941). Di Londonlah ia menulis bagian besar karyanya tentang proses peradaban (The Civilizing Process) yang diterbitkan di Jerman tahun 1939. Ketika itu tak ada pasar di Jerman bagi buku-buku yang ditulis oleh sarjana Yahudi dan Elias tak pernah menerima sesenpun royalti dari bukunya yang diterbitkan itu. Lagi pula bukunya itu kurang mendapat penghargaan di bagian dunia lain.
Baik selama perang maupun hampir satu dekade sesudahnya, Elias hidup luntang-lantung dengan keuletannya tanpa jaminan pekerjaan dan tetap menjadi orang pinggiran dalam lingkungan akademis di Inggris. Tetapi, tahun 1954 Elias ditawari dua jabatan akademis dan ia menerima jabatan akademis di Universitas Leicester. Demikianlah Elias memulai karir akademis formalnya di usia 57 tahun.
Elias menggabungkan sintesis unsur-unsur terkuat dalam pemikiran sosiologi klasik dengan mobilisasi yang ketat secara intelektual dan sangat independen dari sintesis itu dilihat dari segi ragam luas bukti empirisnya.[1]

Karir Elias berkembang di Leicester diiringi oleh sejumlah terbitan karyanya. Namun, Elias kecewa dengan jabatan profesornya di Leicester karena ia gagal dalam usahanya untuk melembagakan pendekatan pembangunan yang didirikan sebagai alternatif terhadap jenis pendekatan statis (pendekatan Parsons dan lain-lain) yang kemudian sangat unggul dalam sosiologi. Ia pun kecewa sedikit sekali mahasiswa yang menerima pendekatannya itu; ia terus menjadi seperti seorang yang berteriak di dalam hutan belantara, bahkan di Leicester dimana mahasiswa cenderung menganggapnya sebagai orang sinting yang meneriakkan masa lalu (Mennel, 1992:22). Menarik untuk dicatat bahwa selama Elias bertugas di Leicester, tak satupun bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan sedikit sekali bahasa Jerman.
Tetapi di Benua Eropa, terutama di Belanda dan Jerman, karya Elias mulai dipelajari sejak 1950-an dan 1960-an. Tahun 1970-an Elias mulai mendapat penghargaan tak hanya di kalangan akademik, tetapi juga di kalangan publik Eropa. Selama sisa hidupnya, Elias menerima sejumlah penghargaan penting, menerima gelar doktor kehormatan dan berbagai penghargaan atas karyanya.
Isu-isu yang diangkat Elias-termasuk sejarah subyektivitas, kekuasaan, pengetahuan, kekerasan, pembentukan negara, sikap terhadap tubuh dan seksualitas-sudah mendahului ilmu pengetahuan.[2]
Konsep itulah yang menjadi pusat dalam pemikirannya tentang masyarakat dan perilku manusia.

    4.      PERTANYAAN YANG DIAJUKAN
Elias mempertanyakan sam seperti kebanyakan sosiolog untuk menjelaskan ketertiban kehidupan sosial dan dia mempertanyakan berpusat pada masalah tatanan  itu sendiri masih problematis. Yang dibicarakan orang tentang tatana alam, tempat pembusukan dan penghancuransebagai proses terstruktur berdampingan dengan pertumbuhan dan sintesis.
Bagi Elias, pertanyaanya ialah ‘Bagaimana bias terjadi bahwa pemunculan formasi-formasi di dunia manusia tidak dimasukkan oleh seorang manusia pun, dan bahwa yang ada adalah hanyalah formasi-formasi tidak jelas tanpa kestabilan dan struktur.[3]

Menurut Elias (1978 :131) bahwa inti figurasi sosial yang senantiasa berubah adalah fluktuasi, keseimbangan yang dapat tegang dan kendur, keseimbangan kekuasaan yang berubah, mula-mula kearah satu sisi dan kemudian kesisi lain. Fluktuasi keseimbangan kekuasaan ini adalah ciri-ciri struktural aliran setiap figurasi sosial. Pada umumnya figurasi sosial muncul dan berkembang menurut cara tak kelihatan dan tanpa rencana.

     5.      PROPOSISI YANG DITAWARKAN
Elias meyakini sebagai produk sebuah proses yang panjang. Sebagai ekspresi bakat mereka sendiri yang tinggi. Rasa keunggulan bangsa Eropa atas sema bangsa lain di dunia. Sejak itulah kesadaran dan keunggulan mereka sendiri akan peradaban bertindak sebagai justifikasi atas pemerintahan bangsa-bangsa yang telah menjadi penakluk kolonialisme. Puncak kegemaran mereka pada kebiadaban yang mengerikan, inilah yang menjadi pusat penataan ulasan Elias perihal perkembangan kehidupan sosial modern. Sebagai pusat pembentukan struktur jiwa sosial yang menjadi ciri khas masyarakat Barat Eropa Kontemporer.
The Civilizing Process adalah Proses peradaban yang oleh Norbert Elias tidak hanya dideskrepsikan lewat tata cara di meja makan, bagaimana menunjukkan rasa malu dan moral seksualitas, namun secara lebih langsung proses ini sampai mereduksi tataran kekerasan yang diperintahkan oleh moral publik. Pada manusia urusan ini sudah jelas bahwa mengontrol hukum peperangan, kemudian pembalasan dendam pribadi oleh Negara adalah produk dari evolusi institusi yang menjadi monopoli hingga XVIII lihat La Dynamique de I’Occident atau Dinamika Barat.
Elias memusatkan perhatian pada peradaban negeri barat dan mengaplikasikan gagasannya pada Negara lain yaitu Singapura, Elias tak hendak menyatakan bahwa ada sesuatu yang sudah menjadi sifat baik atau lebih baik mengenai peradaban seperti yang terjadi di barat  atau tempat lain manapun. Ia pun tak hendak menyatakan bahwa peradaban mempunyai sifat buruk  meski ia mengakui bahwa berbagai kesulitan telah muncul dalam peradaban barat. Lebih umum lagi Elias tak hendak menyatakan bahwa semakin beradab adalah lebih baik, atau sebaliknya, semakin kurang beradab adalah lebih buruk. Ia menyatakan bahwa orang menjadi makin beradab, kita tak perlu menyatakan bahwa mereka telah menjadi makin baik (atau makin buruk ) kita semata-mata hanya menyatakan fakta sosiologis. Demikian Elias memusatkan perhatian pada studi sosiologi mengenai apa yang ia sebut “sosiogenesis” pada peradaban di Barat.Mulai saat itu penggunaan kekerasan pribadi secara sosial berada dibawah pengawasan polisi dan pengadilan. Pada abad pertengahan para prajurit kerajaan biasa memotong beberapa anggota badan korban mereka sedangkan rakyat jelata cukup menonton hukuman penggal kepala. Dalam proses peradaban faktor-faktor eksternal sangat menentukan namun digantikan oleh mekanisme psikis yang mengatur tingkat kepekaan setiap orang.
Namun selanjutnya bagaimana halnya dengan meningkatnya rasa tidak aman masyarakat modern dan maju seperti yang diungkapkan oleh beberapa sosiolog? Ketika persoalan ini terbuka pada tahun-tahun 1980an, berbagai respons pun bermunculan. Yang pertama malah meragukan tesis N. Elias bahwa tidak ada bukti adanya hubungan antara ‘kehalusan’ dalam beretika (tata-cara) dengan berkurangnya kekerasan terhadap sesama. Kedua aspek itu bervariasi bergantung satu sama lain, dan dengan demikian argumentasi tentang pelanggaran hukum tidak berarti bahwa kemajuan peradaban telah sampai pada batasnya. Sementara yang lain mengajukan “interupsi proses peradaban” dengan rusaknya contoh dari Negara (model etatik), yang dalam istilah umum akan mengungkapkan juga bahwa dinamika institusional sebagaimana dideskripsikaban oleh N. Elias telah mencapai batasnya. Akan tetapi bagi yang lain, kekerasan sebagai cara berhubungan secara sosial bisa dibatasi pada tempat-tempat tertentu dalam pengasingan sosial,  dan secara total tetap asing dari seluruh masyarakat yang tidak henti-hentinya mempersopan diri.

    6.      JENIS REALITAS SOSIAL
Jenis realinya adalah perubahan tata karma atau tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar  maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya.
The Civilizing Process menelusuri proses perubahan bertahap dalam ekspektasi sikap interpersonal orang-orang masyarkat Eropa. Elias mendapati bahwa tingkah laku abad pertengahan dicirikan oleh kesederhanaannya, kenaifannya, emosi, diekspresikan dengan lebih kasar dan langsung diterapkan untuk kekerasan, perilaku seksual, fungsi jasmaniah, kebiasaan makan, tata cara di meja makan dan bentuk-bentuk percakapan berangsur-angsur menjadi semakin rumit dan berbudaya menjijikkan. Dan yang menjijikkan itu kini disingkirkan di belakang pemandangan kehidupan sosial.[4]
      
     7.      AKTOR YANG OTONOM
Aktor yang otonom didalam pemikiran adalah sosiologi mengkaji individu dan tindakan sosialnya, karena memberikan kebebasan mengembangkan nilai. Perkembangan peradaban ini menggangap aktor sebagai aktor yang otonom karena tindakan aktor tidak dipengaruhi struktur yang ada. Aktor dipandang sebagai individu  bebas yang rasional yang dalam menyelesaikan masalah sehari – harinya cenderung menggunakan penalaran yang praktis bukan logika formula yang ada dalam struktur itu sendiri. Individu sebagai hal yang terikat oleh masyarakat karena sebagai agen pembentuk.
   
    8.      ASUMSI TENTANG INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Asumsi tentang individu yang berubah dalam adat-kebiasaan yang semakin berkurang, kesopanan yang mulai tidak ditunjukan maka, oleh Norbert Elias dikatakan perkembangan Peradaban dan proses peradaban di dalam masyarakat
Proses peradaban ini dibagi kedalam kualifikasi bahwa tidak ada titik awal atau titik nol keberadaban manusia, contoh : dalam periode tertentu apapun orang akan menganggap diri mereka lebih beradab daripada bangsa-bangsa sebelumnya bahwa dimanapun kita memulai selalu ada gerakan yang sudah ada sebelumnya. Di dalam masyarakat pastinya bahwa kita sama sekali belum berhenti ‘memberadabkan’ diri kita sendiri dan sesama kita dalam masyarakat. (Ritzer, Goerge.2001:725)
Elias menganggap masyarakat terdiri dari anyaman aktivitas yang saling terjalin dan terstruktur yang dijalankan oleh agen-agen manusia. [5]

     9.      UNIT ANALISNYA INDIVIDU ATAU MASYARAKAT
Unit analisisnya adalah proses peradaban yang berubah. dapat kita lihat dari perubahan tata krama atau tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar  maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. kehidupan sehari-hari atau masyarakat biasa yang abadi. Atau, cara baru dalam memahami struktur objektif baik mikro.
Artinya, Elias sedang mengajukan argument yang sangat penting bahwa kebiadaban dan peradaban latar belakang peristiwa NAZI adalah bagian dari masalah analitis yang sama, yaitu “bagaimana dan dalam kondisi apa manusia memenuhi kebutuhan individu atau kebutuhan kelompok secara timbal balik menghancurkan, mengecewakan, merendahkan atau dengan cara lain berkali-kali saling merugikan dalam upaya pemenuhan kebutuhan ini. (Ritzer, Goerge.2001:727) Pendekatan ini memihak masyarakat Negara modern untuk membuahkan respons-respons kritis terorganisir pada genosida besar-besaran
   
     10.  BERADA DALAM MAZHAB
Berada dalam mazhab postmodern karena berkembang dalam masa modern setelah perang dunia ke 2. dalam mengembangkan teori-teorinya berada pada  mazhab Cartesian karena dalam kajiannya mengandalkan rasio / kesadaran  ( rasionalisme ) dan menganggap kebenaran dari subyek. Masuk dalam aliran :
Para pemikir mula-mula menyumbangkan pemahaman yang terus berkembang mengenai persoalan ini meliputi Adam Smith, Hegel, Kaum Fisiokrat, Malthus,Marx, dan Comte.[6]
Sumber :
TURNER,S.BRYAN.2012. Teori Sosial Klasik Sampai Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer,Goerge.2001.Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media.




[1]Ritzer,Goerge.2001.707
[2] Ritzer, Goerge.2001:708
[3] Ritzer, Goerge.2001:709
[4] Ritzer, Goerge.2001:720
[5] Ritzer, Goerge.2001:709
[6] Ritzer, Goerge.2001:709

No comments:

Post a Comment