ARTIKEL KOSEPTUAL
ANATOMI TEORI SOSIAL
ANATOMI TEORI SOSIAL
NORBERT ELIAS TENTANG “PROSES
PERADABAN”
THE CIVILIZING PROCESS
1.
KONTEKS
SOSIAL
Ketika melihat Nazisme
tengah menanjak, Norbert Elias orang Yahudi meninggalkan Jerman pada tahun
1935. Ia tinggal di Paris selama 2 tahun, kemudian ke London dimana ia menulis
karya pertamanya tentang “proses peradaban”. Buku ini terdiri dari dua jilid
dan terbit di Bale pada tahun 1939 namun berlalu begitu saja. Selama 30 tahun
Norbert Elias mengajar sebagai dosen sosiologi di Cambridge, Leicester, di
Ghana dan lebih banyak tinggal di Inggris. Kariernya kembali muncul dengan
diterbitkannya kembali dua jilid buku tersebut pada tahun 1939, dan tahun 1969
diikuti dengan satu jilid baru. Ketiga buku itu berubah judul menjadi La
Civilization des meuers (Peradaban Adat-Kebiasaan), La Dynamique de I’Occident
(Dinamika Barat) dan La Societt de cour (Masyarakat dalam Istana). Norbert
Elias kemudian secara berkala diundang untuk mengajar di Amsterdam dan
Bielefeld, serta di Jerman dimana pemikirannya dihargai.
Sikap malu dan
cara-cara bersikap yang ‘pas’ lainnya menurut Norbert Elias merupakan
tanda-tanda kasat mata proses peradaban yang ditunjukkan Eropa secara jelas
sejak masa renaissance. Namun apakah keterampilan menguasai diri tersebut
betul-betul warisan manusia modern.
2.
PEMIKIRAN
ATAU TEORI YANG MEMPENGARUHINYA
Norbert Elias lahir
tahun 1897 dari keluarga yang relatif berkecukupan di kota Breslau (sekarang
Wroclaw). Disini ia mengenyam pendidikan Jerman klasik, kemudian dimobilisasi
pada tahun 1915 dan pada akhir masa perang ia belajar kedokteran dan filsafat.
Pada tahun 1925 ia berbalik mempelajari sosiologi dan hendak menetap di
Heidelberg tempat Max Weber mengajar kemudian menyusul bekerja sebagai asisten
Karl Mannheim di Frankfurt.
Elias tak mendapat gaji
di Heidelberg tetapi ia sangat aktif terlibat dalam kelompok studi sosiologi di
Universitas Heidelberg. Max Weber telah meninggal tahun 1920, tetapi salon yang
dipimpin istrinya, Mariane, masih aktif dan Elias terlibat didalamnya. Ia juga
bergabung dengan saudara Weber, Alfred, yang menjadi ketua jurusan sosiologi di
Universitas Heidelberg maupun dengan Karl Mannheim yang agak lebih maju
karirnya ketimbang Elias. Kenyataannya Elias menjadi teman dan asisten tak
bergaji dari Mannheim. Ketika Mannheim ditawari jabatan di Universitas
Frankfurt tahun 1930, Elias menyertainya sebagai asisten resmi yang digaji
(mengenai hubungan antara kedua orang itu dan karya mereka, lihat Kilminster,
1993).
3.
LATAR
BELAKANG SOSIAL
Elias lahir di Breslau,
Jerman tahun 1897 (Mennel, 1992). Orang tuanya Hermann dan Sophie Elias.Ayahnya
seorang pengusaha pabrik kecil dan kehidupan keluarganya cukup menyenangkan. Ia
dibesarkan dalam sebuah keluarga sejahtera yang membekalinya dengan kepercayaan
diri kuat yang bermanfaat baginya kemudian ketika karyanya tak dihargai : Dia
telah dibekali perasaan aman yang besar sejak masa kanak-kanak. Dia mempunyai
perasaan aman mendasar yang besar, perasaan yang dalam menghadapi suatu persoalan
akhirnya akan menghasilkan penyelesaian yang terbaik. Rasa aman yang besar ini
sudah ditanamkan orang tua kepada dia sejak kecil.
Sejak kecil dia tahu
apa yang ingin dia lakukan; dia ingin masuk universitas dan ingin melakukan
riset, Dia tahu itu sejak masih muda dan dia telah melakukannya meski
kadang-kadang tampaknya mustahil… Dia yakin sekali bahwa akhirnya karya dia
akan diakui sebagai kontribusi yang berharga terhadap pengetahuan tentang
kemanusiaan. (Elias, dikutip dalam Mennel, 1992:6-7).
Elias masuk dinas
militer Jerman saat PD II, dan seusai perang ia belajar filsafat dan kedokteran
di Universitas Breslau. Meski studi kedokterannya maju pesat tetapi akhirnya ia
tinggalkan demi untuk memusatkan perhatian sepenuhnya pada studi filsafat.
Studi kedokteran memberikan pengertian tentang saling berhubungan antara
berbagai bagian tubuh manusia dan pemahamannya itu membentuk orientasinya
terhadap antar hubungan manusia; membentuk perhatiannya mengenai figurasi.
Elias menerima gelar Ph.D. pada Januari 1924; baru kemudian ia pergi ke
Heidelberg untuk belajar sosiologi.
Elias tak mendapat gaji
di Heidelberg tetapi ia sangat aktif terlibat dalam kelompok studi sosiologi di
Universitas Heidelberg. Max Weber telah meninggal tahun 1920, tetapi salon yang
dipimpin istrinya, Mariane, masih aktif dan Elias terlibat didalamnya. Ia juga
bergabung dengan saudara Weber, Alfred, yang menjadi ketua jurusan sosiologi di
Universitas Heidelberg maupun dengan Karl Mannheim yang agak lebih maju
karirnya ketimbang Elias. Kenyataannya Elias menjadi teman dan asisten tak
bergaji dari Mannheim. Ketika Mannheim ditawari jabatan di Universitas
Frankfurt tahun 1930, Elias menyertainya sebagai asisten resmi yang digaji
(mengenai hubungan antara kedua orang itu dan karya mereka, lihat Kilminster,
1993).
Hitler berkuasa pada
Februari 1933 dan segera sesudah itu, Elias, seperti banyak sarjana Yahudi
lainnya (termasuk Mannheim), diusir dari Jerman, mula-mula ia tinggal di Paris,
kemudian di London (ibunya mati di dalam kamp konsentrasi Jerman tahun 1941).
Di Londonlah ia menulis bagian besar karyanya tentang proses peradaban (The
Civilizing Process) yang diterbitkan di Jerman tahun 1939. Ketika itu tak ada
pasar di Jerman bagi buku-buku yang ditulis oleh sarjana Yahudi dan Elias tak
pernah menerima sesenpun royalti dari bukunya yang diterbitkan itu. Lagi pula
bukunya itu kurang mendapat penghargaan di bagian dunia lain.
Baik selama perang
maupun hampir satu dekade sesudahnya, Elias hidup luntang-lantung dengan
keuletannya tanpa jaminan pekerjaan dan tetap menjadi orang pinggiran dalam
lingkungan akademis di Inggris. Tetapi, tahun 1954 Elias ditawari dua jabatan
akademis dan ia menerima jabatan akademis di Universitas Leicester. Demikianlah
Elias memulai karir akademis formalnya di usia 57 tahun.
Elias
menggabungkan sintesis unsur-unsur terkuat dalam pemikiran sosiologi klasik
dengan mobilisasi yang ketat secara intelektual dan sangat independen dari
sintesis itu dilihat dari segi ragam luas bukti empirisnya.[1]
Karir Elias berkembang
di Leicester diiringi oleh sejumlah terbitan karyanya. Namun, Elias kecewa
dengan jabatan profesornya di Leicester karena ia gagal dalam usahanya untuk
melembagakan pendekatan pembangunan yang didirikan sebagai alternatif terhadap
jenis pendekatan statis (pendekatan Parsons dan lain-lain) yang kemudian sangat
unggul dalam sosiologi. Ia pun kecewa sedikit sekali mahasiswa yang menerima
pendekatannya itu; ia terus menjadi seperti seorang yang berteriak di dalam
hutan belantara, bahkan di Leicester dimana mahasiswa cenderung menganggapnya
sebagai orang sinting yang meneriakkan masa lalu (Mennel, 1992:22). Menarik
untuk dicatat bahwa selama Elias bertugas di Leicester, tak satupun bukunya
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan sedikit sekali bahasa Jerman.
Tetapi di Benua Eropa,
terutama di Belanda dan Jerman, karya Elias mulai dipelajari sejak 1950-an dan
1960-an. Tahun 1970-an Elias mulai mendapat penghargaan tak hanya di kalangan
akademik, tetapi juga di kalangan publik Eropa. Selama sisa hidupnya, Elias
menerima sejumlah penghargaan penting, menerima gelar doktor kehormatan dan
berbagai penghargaan atas karyanya.
Isu-isu yang
diangkat Elias-termasuk sejarah subyektivitas, kekuasaan, pengetahuan,
kekerasan, pembentukan negara, sikap terhadap tubuh dan seksualitas-sudah
mendahului ilmu pengetahuan.[2]
Konsep itulah yang
menjadi pusat dalam pemikirannya tentang masyarakat dan perilku manusia.
4.
PERTANYAAN
YANG DIAJUKAN
Elias mempertanyakan
sam seperti kebanyakan sosiolog untuk menjelaskan ketertiban kehidupan sosial dan
dia mempertanyakan berpusat pada masalah tatanan itu sendiri masih problematis. Yang
dibicarakan orang tentang tatana alam, tempat pembusukan dan
penghancuransebagai proses terstruktur berdampingan dengan pertumbuhan dan
sintesis.
Bagi Elias, pertanyaanya ialah ‘Bagaimana bias terjadi bahwa pemunculan formasi-formasi di dunia
manusia tidak dimasukkan oleh seorang manusia pun, dan bahwa yang ada adalah
hanyalah formasi-formasi tidak jelas tanpa kestabilan dan struktur.[3]
Menurut Elias (1978
:131) bahwa inti figurasi sosial yang senantiasa berubah adalah fluktuasi,
keseimbangan yang dapat tegang dan kendur, keseimbangan kekuasaan yang berubah,
mula-mula kearah satu sisi dan kemudian kesisi lain. Fluktuasi keseimbangan
kekuasaan ini adalah ciri-ciri struktural aliran setiap figurasi sosial. Pada
umumnya figurasi sosial muncul dan berkembang menurut cara tak kelihatan dan
tanpa rencana.
5.
PROPOSISI
YANG DITAWARKAN
Elias meyakini sebagai
produk sebuah proses yang panjang. Sebagai ekspresi bakat mereka sendiri yang
tinggi. Rasa keunggulan bangsa Eropa atas sema bangsa lain di dunia. Sejak
itulah kesadaran dan keunggulan mereka sendiri akan peradaban bertindak sebagai
justifikasi atas pemerintahan bangsa-bangsa yang telah menjadi penakluk
kolonialisme. Puncak kegemaran mereka pada kebiadaban yang mengerikan, inilah
yang menjadi pusat penataan ulasan Elias perihal perkembangan kehidupan sosial
modern. Sebagai pusat pembentukan struktur jiwa sosial yang menjadi ciri khas
masyarakat Barat Eropa Kontemporer.
The Civilizing Process
adalah Proses peradaban yang oleh Norbert Elias tidak hanya dideskrepsikan
lewat tata cara di meja makan, bagaimana menunjukkan rasa malu dan moral
seksualitas, namun secara lebih langsung proses ini sampai mereduksi tataran
kekerasan yang diperintahkan oleh moral publik. Pada manusia urusan ini sudah
jelas bahwa mengontrol hukum peperangan, kemudian pembalasan dendam pribadi
oleh Negara adalah produk dari evolusi institusi yang menjadi monopoli hingga
XVIII lihat La Dynamique de I’Occident atau Dinamika Barat.
Elias memusatkan
perhatian pada peradaban negeri barat dan mengaplikasikan gagasannya pada
Negara lain yaitu Singapura, Elias tak hendak menyatakan bahwa ada sesuatu yang
sudah menjadi sifat baik atau lebih baik mengenai peradaban seperti yang
terjadi di barat atau tempat lain
manapun. Ia pun tak hendak menyatakan bahwa peradaban mempunyai sifat
buruk meski ia mengakui bahwa berbagai
kesulitan telah muncul dalam peradaban barat. Lebih umum lagi Elias tak hendak
menyatakan bahwa semakin beradab adalah lebih baik, atau sebaliknya, semakin
kurang beradab adalah lebih buruk. Ia menyatakan bahwa orang menjadi makin
beradab, kita tak perlu menyatakan bahwa mereka telah menjadi makin baik (atau
makin buruk ) kita semata-mata hanya menyatakan fakta sosiologis. Demikian
Elias memusatkan perhatian pada studi sosiologi mengenai apa yang ia sebut
“sosiogenesis” pada peradaban di Barat.Mulai saat itu penggunaan kekerasan
pribadi secara sosial berada dibawah pengawasan polisi dan pengadilan. Pada
abad pertengahan para prajurit kerajaan biasa memotong beberapa anggota badan
korban mereka sedangkan rakyat jelata cukup menonton hukuman penggal kepala.
Dalam proses peradaban faktor-faktor eksternal sangat menentukan namun
digantikan oleh mekanisme psikis yang mengatur tingkat kepekaan setiap orang.
Namun selanjutnya
bagaimana halnya dengan meningkatnya rasa tidak aman masyarakat modern dan maju
seperti yang diungkapkan oleh beberapa sosiolog? Ketika persoalan ini terbuka
pada tahun-tahun 1980an, berbagai respons pun bermunculan. Yang pertama malah
meragukan tesis N. Elias bahwa tidak ada bukti adanya hubungan antara
‘kehalusan’ dalam beretika (tata-cara) dengan berkurangnya kekerasan terhadap
sesama. Kedua aspek itu bervariasi bergantung satu sama lain, dan dengan
demikian argumentasi tentang pelanggaran hukum tidak berarti bahwa kemajuan
peradaban telah sampai pada batasnya. Sementara yang lain mengajukan “interupsi
proses peradaban” dengan rusaknya contoh dari Negara (model etatik), yang dalam
istilah umum akan mengungkapkan juga bahwa dinamika institusional sebagaimana
dideskripsikaban oleh N. Elias telah mencapai batasnya. Akan tetapi bagi yang
lain, kekerasan sebagai cara berhubungan secara sosial bisa dibatasi pada
tempat-tempat tertentu dalam pengasingan sosial, dan secara total tetap asing dari seluruh
masyarakat yang tidak henti-hentinya mempersopan diri.
6.
JENIS
REALITAS SOSIAL
Jenis realinya adalah
perubahan tata karma atau tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang
hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara
sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat
terhadap anggota-anggotanya.
The Civilizing Process menelusuri
proses perubahan bertahap dalam ekspektasi sikap interpersonal orang-orang
masyarkat Eropa. Elias mendapati bahwa tingkah laku abad pertengahan dicirikan
oleh kesederhanaannya, kenaifannya, emosi, diekspresikan dengan lebih kasar dan
langsung diterapkan untuk kekerasan, perilaku seksual, fungsi jasmaniah,
kebiasaan makan, tata cara di meja makan dan bentuk-bentuk percakapan
berangsur-angsur menjadi semakin rumit dan berbudaya menjijikkan. Dan yang
menjijikkan itu kini disingkirkan di belakang pemandangan kehidupan sosial.[4]
7.
AKTOR
YANG OTONOM
Aktor yang otonom
didalam pemikiran adalah sosiologi mengkaji individu
dan tindakan sosialnya, karena memberikan kebebasan mengembangkan nilai. Perkembangan peradaban ini
menggangap aktor sebagai aktor yang
otonom karena tindakan aktor tidak dipengaruhi struktur yang ada. Aktor
dipandang sebagai individu bebas yang
rasional yang dalam menyelesaikan masalah sehari – harinya cenderung
menggunakan penalaran yang praktis bukan logika formula yang ada dalam struktur
itu sendiri. Individu sebagai hal yang terikat oleh masyarakat karena sebagai
agen pembentuk.
8.
ASUMSI
TENTANG INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Asumsi tentang individu
yang berubah dalam adat-kebiasaan yang semakin berkurang, kesopanan yang mulai
tidak ditunjukan maka, oleh Norbert Elias dikatakan perkembangan Peradaban dan
proses peradaban di dalam masyarakat
Proses peradaban ini dibagi
kedalam kualifikasi bahwa tidak ada titik awal atau titik nol keberadaban
manusia, contoh : dalam periode tertentu apapun orang akan menganggap diri
mereka lebih beradab daripada bangsa-bangsa sebelumnya bahwa dimanapun kita
memulai selalu ada gerakan yang sudah ada sebelumnya. Di dalam masyarakat
pastinya bahwa kita sama sekali belum berhenti ‘memberadabkan’ diri kita
sendiri dan sesama kita dalam masyarakat. (Ritzer, Goerge.2001:725)
Elias menganggap
masyarakat terdiri dari anyaman aktivitas yang saling terjalin dan terstruktur
yang dijalankan oleh agen-agen manusia. [5]
9.
UNIT
ANALISNYA INDIVIDU ATAU MASYARAKAT
Unit analisisnya adalah
proses peradaban yang berubah. dapat kita lihat dari perubahan tata krama atau
tata kelakuan (mores) mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia
yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap
anggota-anggotanya. kehidupan
sehari-hari atau masyarakat biasa yang abadi. Atau, cara baru dalam memahami struktur
objektif baik mikro.
Artinya, Elias sedang mengajukan argument yang sangat
penting bahwa kebiadaban dan peradaban latar belakang peristiwa NAZI adalah
bagian dari masalah analitis yang sama, yaitu “bagaimana dan dalam kondisi apa
manusia memenuhi kebutuhan individu atau kebutuhan kelompok secara timbal balik
menghancurkan, mengecewakan, merendahkan atau dengan cara lain berkali-kali
saling merugikan dalam upaya pemenuhan kebutuhan ini. (Ritzer, Goerge.2001:727)
Pendekatan ini memihak masyarakat Negara modern untuk membuahkan
respons-respons kritis terorganisir pada genosida besar-besaran
10. BERADA DALAM MAZHAB
Berada dalam mazhab
postmodern karena berkembang dalam masa modern setelah perang dunia ke 2. dalam mengembangkan teori-teorinya
berada pada mazhab Cartesian karena
dalam kajiannya mengandalkan rasio / kesadaran
( rasionalisme ) dan menganggap kebenaran dari subyek. Masuk dalam
aliran :
Para pemikir mula-mula menyumbangkan pemahaman yang terus
berkembang mengenai persoalan ini meliputi Adam Smith, Hegel, Kaum Fisiokrat,
Malthus,Marx, dan Comte.[6]
Sumber :
TURNER,S.BRYAN.2012.
Teori Sosial Klasik Sampai Postmodern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer,Goerge.2001.Handbook Teori Sosial.
Bandung: Nusa Media.
No comments:
Post a Comment