ARTIKEL KONSEPTUAL
ARTIKEL PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF GENDER
ARTIKEL PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF GENDER
Pada era ini, pemberdayaan perempuan dalam konstruksi gender
menggunakan fokus utama pola relasi laki-laki dan perempuan, yaitu pendekatan
yang digunakan dalam menekankan prinsip kemitraan dan keharmonisan antara
perempuan dan laki-laki. Pendekatan dilakukan tidak hanya memperhatikan
perempuan, tetapi juga memperhatikan perempuan dalam konstruksi sosial gender
yang memberi peran tertentu pada perempuan maupun laki-laki.
Segala upaya intervensi tidak selalu kepada
peningkatan ekonomi, melainkan didukung oleh perubahan paradigma dan
transformasi kekuasaan laki-laki kepada perempuan, termasuk meningkatkan peran
perempuan dalam posisi pengambilan keputusan. Strategi yang digunakan pun tidak
selalu bertumpu pada lali-laki, tetapi sudah mengakomodasi kebutuhan,
pengalaman, aspirasi dan ketidakadilan yang dialami perempuan. Paradigma
melihat perempuan bukanlah perempuan sebagai masalah, tapi sebagai mitra
sejajar yang harus mulai dilibatkan dalam upaya-upaya mencapai kesetaraan
hubungan keduanya.
Di Indonesia sendiri, kini hadir beberapa Aliansi dan gerakan pelibatan perempuan untuk mencapai kesetaraan gender. Namun tentunya perlu waktu dan proses yang tidak cepat hingga sampai ke ranah paradigma kesetaraan gender dimana tidak ada lagi pelabelan negatif dan pengkotak-kotakan peran yang berasal dari pembakuan peran yang tidak adil terhadap laki-laki dan perempuan.
Di Indonesia sendiri, kini hadir beberapa Aliansi dan gerakan pelibatan perempuan untuk mencapai kesetaraan gender. Namun tentunya perlu waktu dan proses yang tidak cepat hingga sampai ke ranah paradigma kesetaraan gender dimana tidak ada lagi pelabelan negatif dan pengkotak-kotakan peran yang berasal dari pembakuan peran yang tidak adil terhadap laki-laki dan perempuan.
Peran informasi dan advokasi saja juga dirasa
kurang cukup untuk meningkatkan peran perempuan dalam ranah publik. Namun,
perubahan pada tataran struktural dan paradigma-lah kunci utamanya. Itulah
upaya sejati untuk menggapai kesetaraan dan keadilan gender. Ketika hubungan
antara laki-laki dan perempuan dan antara perempuan dan perempuan sudah tidak
lagi dibeda-bedakan, antara kaya miskin dan pembakuan peran gender yang
merugikan, niscaya itulah kesetaraan (equality) dan keadilan (equity) yang
sesungguhnya.
Budaya
media (media culture) menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan
visual atau tontotan-tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari,
mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial,
bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang (Kellner, 1996).
Media cetak, radio, televisi, film, internet dan bentuk-bentuk akhir teknologi
media lainnya telah menyediakan definisi-definisi untuk menjadi laki-laki atau
perempuan, membedakan status-status seseorang berdasarkan kelas, ras, maupun
seks. (Maria Hartiningsih, 2003)
Dalam masyarakat, sering muncul pandangan bahwa
perempuan adalah objek seks yang fungsi utamanya di dunia, adalah untuk
melayani pria. Dan karena dicitrakan sebagai objek seks, persepsi bahwa
perempuan harus tampil dan berperilaku sebagai objek seks adalah suatu
keharusan. Perempuan harus tampil dengan menonjolkan daya tarik seksual, harus
bersedia mengalami pelecehan seksual dan harus memaklumi perilaku seksual
agresif pria. Semua citra itu berada di dalam pemberitaan media massa kita, juga
dalam sinetron-sinetron di televisi.
Fenomena lain yang bisa mengungkapkan adanya
bias gender dalam media massa adalah maraknya terbitan media massa dengan isi
yang lebih mengedepankan pornografi. Terbitan seperti ini di berbagai wilayah
di Indonesia memenuhi tempat-tempat penjualan majalah dan surat kabar. Seperti
diketahui, media massa yang demikian menjadikan perempuan sebagai komoditas dan
produk yang memiliki nilai jual tinggi. Para pengelola media massa ini melihat
perempuan hanya sebatas barang dagangan, objek seksual, dan pemuas laki-laki.
Tetapi sebenarnya media juga merupakan sarana
atau bisa dijadikan sebagai solusi yang efektif untuk mensosialisasikan cara
pandang yang positif terhadap perempuan. Di tengah maraknya komodifikasi tubuh
dan seksualitas perempuan, telah muncul upaya dari sejumlah pekerja media yang
menyadari akan tanggungjawabnya untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik
dan adil. Oleh karena itu pengembangan bentuk-bentuk tayangan atau produk
alternatif perlu terus diupayakan untuk memerangi kekuatan masif adanya
kecenderungan objektifikasi perempuan dalam media.
Selain itu, solusi lewat dunia pendidikan, para
wanita dapat meningkatkan kualitas dan kompetensi, sehingga mereka akan
memiliki “harga”. Kemudian dari pemerintah, solusi bisa diperoleh melalui
komisi penyiaran yang harus memiliki kemampuan dalam memberikan regulasi yang
jelas dan tegas untuk mendukung kesetaraan gender.
Kiprah kaum perempuan dalam pembangunan
sangatlah diperlukan. Untuk itulah kaum perempuan hendaknya mengambil peran
strategis dalam proses pembangunan, agar kaum perempuan ikut memastikan arah
gerak negara, sehingga kaum perempuan mendapatkan hak dasarnya sebagai manusia
yang mulia. Dengan keterlibatan kaum perempuan, maka kepentingan kaum perempuan
akan lebih tersalurkan dan lebih dari itu, kebijakan-kebijakan yang muncul akan
mencerminkan suatu kebijakan yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan
gender. Adapun peran strategis yang dapat dijalankan oleh kaum perempuan
meliputi:
Pertama, peran untuk ambil bagian dalam
merancang suatu model baru pembangunan, yang digerakkan oleh suatu tata kelola
pemerintahan yang baik dan adil gender. Kaum perempuan dapat mendorong
berkembangnya pandangan baru dan ukuran-ukuran baru, sehingga kiprah kaum
perempuan tetap dilihat dalam kacamata perempuan dan bukan kacamata yang bias
gender.
Kedua, peran untuk ambil bagian dalam proses
politik, khususnya proses pengambilan keputusan politik yang dapat berimplikasi
pada kehidupan publik. Dalam hal ini, kaum perempuan sudah saatnya membangun
keberanian untuk memasuki ranah politik, baik menjadi penggerak partai politik,
masuk ke parlemen, atau berjuang melalui posisi kepala daerah.
Ketiga, peran untuk ambil bagian dalam proses
sosial-ekonomi dan produksi, serta proses kemasyarakatan yang luas. Kaum
perempuan dapat menjadi penggerak kebangkitan perekonomian nasional yang lebih
berkarakter, yakni perekonomian yang berbasis produksi, bukan konsumsi.
Oleh karena itu, kaum perempuan sudah saatnya
memanfaatkan ruang yang telah terbuka dengan sebaik-baiknya. Beberapa kebijakan
yang mulai memperlihatkan suatu kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan
gender, tentu perlu diperluas dan pada gilirannya, arah dan seluruh gerak
negara, berorientasi pada usaha membangun tata kehidupan yang setara dan
berkeadilan.
Diskriminasi dapat
diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan
didasarkan pada gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang lain.
Diskriminasi juga terjadi dalam peran gender. Sebenarnya inti dari diskriminasi
adalah perlakuan berbeda. Akibat pelekatan sifat-sifat gender tersebut, timbul
masalah ketidakadilan (diskriminasi) gender.
Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi
gender antara lain :
a) Marginalisasi
Proses peminggiran atau penyisihan yang
mengakibatkan dalam keterpurukan. Hal ini banyak terjadi dalam masyarakat di
negara berkembang, seperti penggusuran dari kampung halaman, eksploitasi.
Namun, pemiskinan atas perempuan maupun laki-laki yang disebabkan jenis kelamin
merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai
contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari
progam pembangunan seperti intersifikasi pertanian yang hanya memfokuskan
petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian
dan industri yang lebih memerlukan ketrampilan yang biasanya lebih banyak
dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa
yang semula dikerjakan secara manual oleh prempuan diambil alih oleh mesin yang
umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Contoh lain marginalisasi :
a. Design teknologi terbaru diciptakan untuk laki
laki, dengan postur tun
b. Mesin mesin
digerakkan membutuhkan tenaga laki laki
c. Bay sister adalah
perempuan
d. Perusahaan garmen
banyak membutuhkan perempuan
e. Direktur banyak oleh
laki laki.
b) Sub ordinasi
Sub ordinasi pada dasaranya adalah keyakinan
bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding
jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan
kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam
tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan
kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan
memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang
gerak terutama perempuan dalam kehidupan.
Contoh sub ordinasi :
a. Persyaratan
melanjutkan studi untuk istri harus ada ijin suami
b. Dalam
jabatan kepanitiaan, perempuan paling tinggi adalah sebagai sekretaris
c) Pandangan Stereotip
Adalah penandaan atau cap yang sering bermakna
negatif. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah
satu stereotip yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi
terhadap salah satu jenis kelamin perempuan, misalnya :
a. Pekerjaan di rumah seperti
mencuci, memasak, membersihkan rumah diidentikkan dengan pekerjaan perempuan
atau ibu rumah tangga
b. Laki-laki sebagai pencari nafkah
yang utama, harus diperlakukan dengan istimewa di dalam rumah tangga, misalnya
yang berkaitan dengan makan
Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah
tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat
pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas,
tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat
menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda,
namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label
kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam
“kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label
laki-laki sebagai pencari nafkah utama, (breadwinner), mengakibatkan apa saja
yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan
cenderung tidak diperhitungkan.
d) Kekerasan
Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap
perempuan sebagai akibat perbedaan muncul dalam berbagai bentuk. Kata kekerasan
merupakan terjemahan dari violence artinya suatu serangan terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya
menyangkut serangan fisik saja seperti pemerkosaan, pemukulan dan penyiksaan
tetapi bersifat nonfisik seperti pelecehan seksual sehingga secara emosional
akan terusik.
Adapun contoh-contoh tindak kekerasan yaitu :
a. Suami
memperketat istri dalam urusan ekonomi keluarga
b. Suami
melarang istri bersosialisasi di masyarakat
c. Istri
mencela pendapat suami di depan umum
d. Istri
merendahkan martabat suami di hadapan masyarakat
e. Suami
membakat/ memukul istri
e) Beban
Ganda
Bentuk lain dari
diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan
oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah
tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa
dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan
hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang
bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan
rumah tangga.
Dalam proses pembangunan,
kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedaan perlakuan, terutama bila bergerak dalam
bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang
dialami kaum laki-laki di satu sisi.
5. Peran
keluarga dalam penentuan peran gender anak bermacam-macam tergantung dari jenis
kelamin dan usia anak. Dalam keluarga, karena ibu lebih banyak bertanggung
jawab dalam pendidikan anak selama awal masa kanak-kanak dibandingkan dengan
ayah, maka ibu lebih berperan dalam penentuan peran gender anak. Dengan
bertambahnya usia dan meluasnya lingkup anak, anak menemukan bahwa peran ayah
lebih bergengsi daripada peran ibu. Akibatnya, ayah mempunyai pengaruh lebih
besar pada penentuan peran gender anak (Supriyantini, 2002).
Orangtua mungkin tidak menyadari, sebenarnya
gaya pengasuhan antara ayah dan ibu berbeda. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya
gender laki-laki dan perempuan berbeda, baik dalam pola kehidupan, latar
belakang maupun pekerjaannya. Perbedaan pada gaya ayah dan ibu sangat wajar,
mengingat pada bapak-bapak, secara fisik memang lebih kuat dari ibu-ibu. Selain
itu, secara umum bapak-bapak adalah breadwinners (pencari nafkah) dalam
keluarga.
Namun begitu, keduanya tetap harus sinergis
dalam membangun kehidupan anak. ayah dan ibu tetap memiliki peranan yang sama
besarnya dalam membangun anak. Kalau ayah lebih kepada membangun visi dan misi,
dan menumuhkan kompetensi dan percaya diri. Ibu lebih kepada memberikan kasih
sayang, sentuhan, memeluk, memberikan contoh kasih sayang, ataupun mengajak
anak ngobrol (Verauli, 2012). Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang
sama dalam pengasuhan pendidikan gender bagi anak-anaknya. Namun ada sedikit
perbedaan sentuhan dari apa yang ditampilkan oleh ayah dan ibu (Verauli, 2009).
a. Peran ibu
1. Menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi
pada anak melalui interaksi yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih
sayang.
2. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak
melalui kegiatan-kegiatan bercerita dan mendongeng, serta melalui kegiatan yang
lebih dekat dengan anak, yakni berbicara dari hati ke hati kepada anak.
3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin
perempuan, tentang bagaimana harus bertindak sebagai perempuan, dan apa
yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari seorang perempuan.
b. Peran ayah
1. Menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten
pada anak melalui kegiatan bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik
di dalam maupun di luar ruang.
2. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi
pada anak melalui kegiatan mengenalkan anak tentang berbagai kisah tentang
cita-cita.
3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin/
gender laki-laki, tentang bagaimana harus bertindak sebagai laki-laki, dan apa
yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari laki-laki.
No comments:
Post a Comment