MAKALAH
PERCERAIAN KRISTEN DIMATA HUKUM INDONESIA
PERCERAIAN KRISTEN DIMATA HUKUM INDONESIA
Latar
Belakang Masalah
Keluarga
adalah sebuah kelompok manusia terkecil yang didasarkan atas ikatan perkawinan,
sehingga membentuk sebuah rumah tangga. Untuk dapat melangsungkan suatu
perkawinan harus memenuhi syarat sahnya perkawinan. Oleh pemerintah perkawinan
diatur melalui UU No.1 Tahun 1974 yaitu Undang-Undang Perkawinan (UUP). Dengan
demikian perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya (pasal 2 ayat 1 UU No.1 tahun 1974).
Dalam
suatu perkawinan semua orang menghendaki kehidupan rumah tangga yang bahagia,
kekal, dan sejahtera, sesuai dengan tujuan dari perkawinan yang terdapat dalam
UU No.1 tahun 1974. Akan tetapi, tidak semua orang dapat membentuk suatu
keluarga yang dicita-citakan tersebut. Hal ini bisa disebabkan karena ketidak
harmonisan di dalam keluarga, penyelewengan kepercayaan dari salah satu
pasangan, pelanggaran seks seperti perzinahan, bahkan karena salah satu
pasangan pergi tanpa kabar dan alasan yang jelas, maka perceraianlah yang
sering diambil sebagai jalan keluar.
Pada
prinsipnya pernikahan menurut Agama Kristen adalah perjanjian yang kudus yang
menyatukan dua orang bersama-sama dalam satu daging (Matius 19:5). Orang
Kristen diajarkan untuk menikah satu kali dalam hidupnya, dan menghindari
perceraian dalam keluarga. Pandangan mengenai perceraian, Alkitab menyebutkan
dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci
perceraian, firman Tuhan, Allah Israel”. Menurut Alkitab, kehendak Allah
adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).
Perceraian
merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-isteri, yang dilakukan di depan sidang Pengadilan, yaitu
Pengadilan Negeri untuk non Muslim dan Pengadilan Agama bagi yang beragama
Muslim. Sedangkan pengertian perceraian menurut hukum perdata adalah
penghapusan perkawinan dengan putusan hakim dan didaftar dalam daftar catatan
sipil. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 39(2) UU No.1 tahun 1974 Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak
akan dapat rukun sebagai suami isteri.
Kontroversi
mengenai apakah perceraian diizinkan oleh Alkitab berkisar pada kata-kata dalam
(Matius 5:32 dan 19:9) “kecuali karena zinah” adalah
satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk
perceraian. Dalam Alkitab “zinah” bisa berarti bermacam penyembahan berhala,
ketidaksetiaan, dan murtad terhadap Allah. Alkitab sangat jelas menjelaskan,
bahwa Tuhan membenci perceraian. Sudah menjadi larangan namun perceraian di
kalangan orang Kristen masih sering
terjadi. Sering kali ketidaktaatan ini dibuat oleh orang-orang Kristen untuk
melakukan perceraian. Perceraian dilakukan sah menurut hukum namun tidak diakui
oleh agama.
Pada
kenyataannya, pada selama tahun 2009 kasus Perdata atau perceraian yang terjadi
di Pengadilan Negeri kota Semarang masih saja terjadi sebanyak 66 kasus. Banyak
pasangan suami dan isteri Agama Kristen telah bercerai di Pengadilan Negeri
Semarang, meskipun dalam kehidupan beragama dan di Gereja keputusan bercerai
tersebut tidak diakui. Pasangan suami dan isteri yang telah melakukan
perceraian menurut hukum sudah diputus sah namun Geraja tidak mau menyetujui
perceraian tersebut karena itu merupakan perbuatan dosa melanggar hukum Agama
Kristen Protestan.
Akibat
dari perceraian tersebut akan membawa dampak kepada anak dalam pendidikan
Formal. Saat dimana anak perlu pendampingan dan kasih sayang dari orang tua,
perlu diawasi dan diarahkan. Namun karena perceraian anak menjadi tidak bisa
mendapatkan kasih sayang dan pengawasan orang tua yang semestinya. Ada yang
membuat mereka kecewa dan tidak semangat lagi dalam masa depannya karena mereka
sedih orang tuanya tidak bisa bersama mendidik anak tersebut. Akhirnya anak
akan lebih cenderung malas belajar dan hasilnya pasti prestasi dalam pendidikan
akan menurun. Jauh dari itu mereka akan salah dalam bergaul dan mencari teman
yang bisa memberikan dia kasih sayang menggantikan orang tua yang bercerai.
Dari
uraian latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang “Mengatasi Dampak Perceraian Agama Kristen Protestan Bagi Pendidikan Formal Dan Kenakalan
Anak Di Semarang”.
DAMPAK
PERCERAIAN
Akibat perceraian
ini diatur di dalam pasal 41 UU No. 1 tahun 1974, yang isinya sebagai berikut:
1.
Baik Ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak- anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan
anak. Bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan
anak, maka
Pengadilan
yang memberi keputusan.
2.
Bapak yang bertanggung jawab
atas semua biaya pemeliharaan
dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan, dan/ atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas isteri.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun
1991.
Ada
tiga
akibat
putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
1. Terhadap anak-anaknya,
2.
Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan).
3. Terhadap
mut’ah
(pemberian bekas suami
kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).
Menurut
Gerungan
bahwa
sebagian besar pada anak-anak berasal dari keluarga yang sudah tidak utuh strukturnya (Gerungan,
1972: 20). Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua karena kematian,
perceraian,
hidup berpisah, untuk
masa
yang tak
terbatas ataupun
suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia
pergi (Abdullah
Kelib, 1990: 20).
No comments:
Post a Comment