Saturday, March 18, 2017

MAKALAH PERCERAIAN KRISTEN DIMATA HUKUM INDONESIA


MAKALAH
PERCERAIAN KRISTEN DIMATA HUKUM INDONESIA


             Latar Belakang Masalah
Keluarga adalah sebuah kelompok manusia terkecil yang didasarkan atas ikatan perkawinan, sehingga membentuk sebuah rumah tangga. Untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan harus memenuhi syarat sahnya perkawinan. Oleh pemerintah perkawinan diatur melalui UU No.1 Tahun 1974 yaitu Undang-Undang Perkawinan (UUP). Dengan demikian perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya (pasal 2 ayat 1 UU No.1 tahun 1974).
Dalam suatu perkawinan semua orang menghendaki kehidupan rumah tangga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, sesuai dengan tujuan dari perkawinan yang terdapat dalam UU No.1 tahun 1974. Akan tetapi, tidak semua orang dapat membentuk suatu keluarga yang dicita-citakan tersebut. Hal ini bisa disebabkan karena ketidak harmonisan di dalam keluarga, penyelewengan kepercayaan dari salah satu pasangan, pelanggaran seks seperti perzinahan, bahkan karena salah satu pasangan pergi tanpa kabar dan alasan yang jelas, maka perceraianlah yang sering diambil sebagai jalan keluar.
Pada prinsipnya pernikahan menurut Agama Kristen adalah perjanjian yang kudus yang menyatukan dua orang bersama-sama dalam satu daging (Matius 19:5). Orang Kristen diajarkan untuk menikah satu kali dalam hidupnya, dan menghindari perceraian dalam keluarga. Pandangan mengenai perceraian, Alkitab menyebutkan dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel”. Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).
Perceraian merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri, yang dilakukan di depan sidang Pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri untuk non Muslim dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Muslim. Sedangkan pengertian perceraian menurut hukum perdata adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim dan didaftar dalam daftar catatan sipil. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 39(2) UU No.1 tahun 1974 Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.
Kontroversi mengenai apakah perceraian diizinkan oleh Alkitab berkisar pada kata-kata dalam (Matius 5:32 dan 19:9)  “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian. Dalam Alkitab “zinah” bisa berarti bermacam penyembahan berhala, ketidaksetiaan, dan murtad terhadap Allah. Alkitab sangat jelas menjelaskan, bahwa Tuhan membenci perceraian. Sudah menjadi larangan namun perceraian di kalangan orang  Kristen masih sering terjadi. Sering kali ketidaktaatan ini dibuat oleh orang-orang Kristen untuk melakukan perceraian. Perceraian dilakukan sah menurut hukum namun tidak diakui oleh agama.
Pada kenyataannya, pada selama tahun 2009 kasus Perdata atau perceraian yang terjadi di Pengadilan Negeri kota Semarang masih saja terjadi sebanyak 66 kasus. Banyak pasangan suami dan isteri Agama Kristen telah bercerai di Pengadilan Negeri Semarang, meskipun dalam kehidupan beragama dan di Gereja keputusan bercerai tersebut tidak diakui. Pasangan suami dan isteri yang telah melakukan perceraian menurut hukum sudah diputus sah namun Geraja tidak mau menyetujui perceraian tersebut karena itu merupakan perbuatan dosa melanggar hukum Agama Kristen Protestan.
Akibat dari perceraian tersebut akan membawa dampak kepada anak dalam pendidikan Formal. Saat dimana anak perlu pendampingan dan kasih sayang dari orang tua, perlu diawasi dan diarahkan. Namun karena perceraian anak menjadi tidak bisa mendapatkan kasih sayang dan pengawasan orang tua yang semestinya. Ada yang membuat mereka kecewa dan tidak semangat lagi dalam masa depannya karena mereka sedih orang tuanya tidak bisa bersama mendidik anak tersebut. Akhirnya anak akan lebih cenderung malas belajar dan hasilnya pasti prestasi dalam pendidikan akan menurun. Jauh dari itu mereka akan salah dalam bergaul dan mencari teman yang bisa memberikan dia kasih sayang menggantikan orang tua yang bercerai.
Dari uraian latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang “Mengatasi Dampak Perceraian Agama Kristen Protestan Bagi Pendidikan Formal Dan Kenakalan Anak Di Semarang”.


DAMPAK PERCERAIAN

Akibat perceraian  ini diatur di dalam pasal 41 UU No. 1 tahun 1974, yang isinya sebagai berikut:
1.        Baik Ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata  berdasarkan  kepentingan  anak. Bilamana ada perselisihan    mengenai    penguasaan    anak,      maka      Pengadilan   yang memberi keputusan.
2.        Bapak   yan bertanggung   jawab   ata semu biay pemeliharaan   dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat  memenuhi  kewajiban  tersebut,  maka  Pengadilan  dapat  menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3.        Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan, dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Akibat putusnya perkawinan  karena perceraian  diatur dalam pasal 156 Inpres  Nomor  1  tahun  1991.  Ada  tiga  akibat  putusnya  perkawinan  karena perceraian yaitu:
     1.      Terhadap anak-anaknya,
     2.      Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan).
     3.      Terhadap  mutah  (pemberian  bekas  suami  kepada  bekas  isterinya  yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).

Menurut  Gerungan  bahwa  sebagian  besar pada anak-anak  berasadari keluarga yang sudah tidak utuh strukturnya (Gerungan, 1972: 20). Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua karena kematian,  perceraian,  hidup  berpisah,  untuk  masa  yang  tak  terbatas  ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi (Abdullah Kelib, 1990: 20).

No comments:

Post a Comment